6/21/2011

My limited thoughts

I've just read C.S. Lewis' book, A Grief Observed. That's my first time to read his. Well, belum selesai sih, baru sampai bab 3 setengah. But I got a lot.

Belakangan ini, topik yang muncul dalam benak saya ialah penderitaan dan Allah. Kalau Allah begitu baik, kenapa ada penderitaan? Mungkin pertanyaan tersebut sering terlintas dalam pikiran kita. He's nice, but how can He stand seeing His children sad? He's generous, but how can He let disaster take everything away from His children, including their life?
Saya sempat takut ketika pertanyaan-pertanyaan itu muncul di pikiran saya. Takut berdosa. Takut menyimpang. Takut jawaban yang saya temukan menyakitkan dan tidak sesuai harapan. Takut semua deh. Karena gak sedikit pertanyaan-pertanyaan seperti ini membawa mereka yang semula percaya--atau mungkin mengaku-- menjadi tidak percaya. Apalagi ketika mereka berada di dalamnya, mengalami langsung penderitaan itu. Dan rasanya Allah seperti diam. Pintu telah kita ketuk berkali-kali karena butuh pertolongan, tapi tak kunjung dibuka. Suara sahutan-Nya pun tak kunjung terdengar.

Tidak seperti Lewis, saya belum pernah merasa kehilangan seseorang yang sebegitu dalam. Saya pernah merasa kehilangan Opung saya, tapi perasaan saya tidak sampai seperti yang dialami Lewis. Kehilangan terdalam yang pernah saya rasakan sejauh ini ialah kehilangan cita-cita semasa kecil. Merasa terperangkap dalam dunia yang tidak pernah saya harapkan untuk geluti. Berada di lingkungan yang tidak saya impikan. Tapi satu kesamaan saya dengan Lewis, I happened to ask Him "why?" . Namun yang ada hanya keheningan sebagai balasan. Sakit saya rasakan, dan begitu menyesakkan hingga beberapa bulan di awal tahun ini. Rasa syukur selalu keluar dari bibir ini, tapi tidak pernah sepenuhnya tulus. Dalam hati selalu bertanya "kenapa?" dan sekali lagi, tidak ada suara. Merasa sendiri dan tidak ada yang lebih sakit daripada merasa sendiri.

Bukan berarti Dia tak menjawab. Dia menjawab dengan cara-Nya. Lewat hal-hal yang selama ini tidak pernah bayangkan. Hasilnya jauh lebih memuaskan ketimbang mendengar bisikan-bisikan yang bergaung di kepala.

Dan seperti Lewis, saya tersadar. Allah memang baik, apapun yang terjadi pada saya. Namun, saya, manusia ciptaan-Nya yang terbatas, tak mampu menyelami kebaikan-Nya. Penderitaan yang diumbar, sulit sebenarnya untuk dikatakan, terjadi atas kehendak-Nya. Dan sulit untuk diterima tapi benar adanya, adalah untuk kebaikan umat-Nya. His thoughts are higher than His creations. Much higher. Tapi karena manusia tidak mampu menyelami wujud kebaikan-Nya itu, manusia merasa menderita. Manusia tidak pernah puas akan apa yang Allah beri. Manusia tidak pernah mau menerima kenyataan bahwa apa yang dia miliki bukanlah miliknya tapi pemberian-Nya, dan memang sesuka-Nya untuk mengambil kapanpun Dia mau, layaknya seorang pemahat boneka yang bisa leluasa mencopot hidung boneka yang baru ia buat. That's why they feel suffer. That's why I feel suffer.

Dan penderitaan bukan bukti ketiadaan Allah. Bukan pula pernyataan tersirat akan ketidakbaikan Allah. Manusia tidak mampu menyelami kebaikan Allah. Itulah mengapa ada penderitaan.