4/24/2011

Beginikah Rasanya Berpikir?

Beberapa waktu lalu, saya pernah bercerita soal senior saya yang memilih untuk menganut atau menjadi agnostic. Sampai dua hari yang lalu, saya masih berpikir bahwa alasan kenapa dia memutuskan memilih aliran tersebut karena keinginannya untuk bebas dari aturan-aturan agama yang mengekang. Well, alasan sebenarnya ternyata tidak seperti itu walaupun ujung-ujungnya ya ke sana juga.

Alasannya tidak jauh berbeda dari para atheis. Hanya saja, jika atheis tidak meyakini keberadaan Tuhan, dia masih merasa MUNGKIN Tuhan itu ada. Ya, mungkin. Tetapi, keberadaan-Nya sampai saat ini masih ia pertanyakan karena tidak ada bukti empiris yang mendukung. Sederhananya, tidak ada data yang menurut nalar-nya-cukup meyakinkan bahwa Tuhan itu benar ada. Apa yang dia alami selama hidup, sampai bagian-bagian terkecil hidupnya, tidak cukup untuk membuatnya percaya bahwa Dia itu ada. Dan karena bukti itu tidak ada, dia tidak menemukan alasan untuk taat pada Tuhan.

Sepertinya saya terkesan sok tahu, tapi, sekedar informasi, saya benar-benar mengetahui hal-hal di atas dari orangnya langsung, via twitter.

Saya setuju dengan pernyataan bahwa setiap manusia harus mengenal siapa Pencipta-Nya. Itu adalah suatu keharusan, karena bagaimana mungkin kita bisa mengatakan kita mengasihi-Nya, padahal kita sendiri tidak tahu siapa Dia. Kalau pepatah bahasa Indonesia bilang, tak kenal maka tak sayang. Itu juga berlaku buat hubungan kita dengan Tuhan, bukan hanya dengan manusia lainnya. Dan agar manusia bisa mengenal-Nya, Tuhan memberikan panca indera, akal, dan juga iman. Bagaimana ketiganya dapat membantu pengenalan manusia akan ciptaan-Nya?

Panca indera yang dimiliki manusia ada lima, yaitu indera penglihatan (mata), indera pendengaran (telinga), indera pengecap (lidah), indera pembau (hidung), dan indera perasa (lidah). Saya sungguh berpikir bahwa kelima indera ini tidak sembarangan saja dirancang atau terjadi secara kebetulan pada tiap manusia. Sungguh suatu kelengkapan karena satu sama lain dari tiap indera itu saling mendukung. Ketika perut kita keroncongan, otomatis aliran informasi tubuh kita akan menyampaikan kepada otak akan hal tersebut sehingga outputnya adalah kita merasa lapar. Ketika kita lapar, kita mencari makan dan dengan indera pendengar, kita mengetahui dari orang di sebelah kita bahwa ada makanan. Kita mengambil makanan tersebut dan tanpa berpikir kita langsung memasukkannya ke mulut karena indera pembau kita, sadar atau tidak sadar, memberitahu kita bahwa makanan tersebut aman untuk dimakan karena belum basi. Sebelumnya, kita merasakan keempukan atau kekerasan dari makanan tersebut sebelum memasukkannya ke mulut kita agar kita mengetahui bagaimana sebaiknya kita memakan makanan tersebut. Setelah kita makan, keluarlah output berupa tanggapan kita akan rasa makanan tersebut;enak atau tidak. Begitulah gambaran sistem kerja panca indera tubuh manusia, walau mungkin terkesan maksa. Dan bagaimana panca indera bisa membantu pengenalan akan TUhan?

Kemudian, ada akal yang dimiliki oleh setiap manusia. Dari akal manusia, timbul pemikiran-pemikiran yang membawa kepada penemuan-penemuan baru, secara material seperti lampu, maupun nonmaterial seperti teori-teori ilmu pengetahuan. Tentu yang saya bicarakan di sini ialah akal sehat; akal yang dimiliki oleh manusia-manusia yang secara pikiran dan mental tidak atau belum terganggu. Akal biasanya merupakan suatu wadah yang dimiliki manusia untuk memasukkan input yang ia dapati dari reaksi panca indera. Ketika input tersebut memiliki satu kesan yang tidak terlupakan, akal akan dengan segera merekamnya dan menjadikannya bahan perenungan. Outputnya ialah seperti yang saya kemukakan sebelumnya. Berlawanan dengan pernyataan saya di satu paragraf sebelumnya, beberapa orang sering menjadikan akal sebagai alasan kenapa mereka tidak mudah untuk menerima satu eksistensi yang memiliki kekuatan besar, yang sangat besar hingga tidak terjangkau akalnya. Kalau sudah begitu, bagaimana akal bisa membantu manusia untuk mengenal Tuhannya?

Yang terakhir ialah iman. Dari antara tiga alat yang saya kemukakan, sepertinya imanlah yang paling layak untuk digunakan dan adanya imanlah yang membuat manusia percaya akan keberadaan Tuhan. Mengutip dari salah satu ayat Alkitab yang saya lupa kitabnya, "Iman adalah bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat", semakin mendukung bahwa memang imanlah yang membuat setiap manusia meyakini adanya Tuhan karena iman itu sendirilah buktinya. Akan tetapi, iman ini tidak serta merta dimiliki oleh manusia. Ada proses yang mengiringinya sehingga iman itu bisa terbentuk. Dan panca indera serta akal memainkan perannya di sana.

Bagi para pembaca yang beragama Kristen, pastinya tidak asing dengan kutipan ini--yang lagi-lagi saya lupa dari kitab apa--"Iman timbul dari pendengaran". Meskipun hanya satu panca indera saja yang dinyatakan di situ, akan tetapi saya sadar jelas bahwa bukan hanya telinga, keempat indera manusia lainnya pun merupakan sarana untuk pembentukan iman. Bagaimana manusia bisa mendapatkan informasi? Dengan melihat, mendengar, mengecap, mencium, dan merasa. Manusia mengetahui tentang Tuhan dengan membaca (penglihatan) dan mendengar (pendengaran) dari buku-buku serta manusia-manusia lain yang telah terlebih dahulu mendapatkan keyakinan tersebut. Okay, keduanya terdengar relevan. Lalu bagaimana dengan tiga indera lainnya? Ketiga indera lainnya memiliki kasus tersendiri karena ketiganya membantu manusia secara tidak langsung menyadari akan keberadaan-Nya lewat ciptaan-Nya, walaupun hal ini juga berlaku untuk dua indera sebelumnya. Suatu ilustrasi yang saya dapatkan dari salah satu senior saya di persekutuan kampus mungkin bisa membantu pemahaman Anda : Setelah senior saya bangun pagi, salah satu hal yang ia lakukan selain saat teduh ialah keluar kamar, mencoba mendengar kicauan burung, memandang langit pagi yang masih terlihat pucat, menghirup udara kala itu sambil meregangkan anggota tubuhnya, dan meneriakkan rasa syukurnya kepada Tuhan. Bagaimana rasanya udara tersebut menghampiri setiap permukaan tubuhnya dan aromanya hinggap di ujung hidungnya, suara burung yang sampai saat itu boleh ia dengar, dan terutama keberadaan ia sendiri pada hari itu sungguh jelas menyatakan keberadaan-Nya di dunia ini. Keindahan bumi yang boleh setiap manusia alami dengan seluruh panca inderanya tidaklah mungkin hanya merupakan suatu proses alam yang terjadi dengan sendirinya dan atau kebetulan tanpa adanya kekuatan yang lebih besar yang menggerakkannya. Contoh lain, yang merupakan secara khusus selalu membuat saya takjub, ialah keberagaman manusia di bumi ini. Saya seringkali mengagumi keindahan suara dari DBSK dan Shinee--maaf kalau ilustrasinya sedikit mengganggu. Keindahan suara masing-masing personil tersebut sangat khas dan tidak dimiliki seorang daripada yang lain. Terkesan berlebihan bagi beberapa orang, tapi hal itu benar-benar meyakinkan saya bahwa manusia diciptakan oleh sesuatu yang begitu cerdas dan kreatif dan bukan hasil evolusi dari sejenis binatang.

Apa yang didapati oleh panca indera merupakan suatu input bagi akal. Keberadaan akal membuat manusia memikirkan, menelaah, memahami informasi yang baru saja dia dapatkan. Dalam proses ini pun, manusia tidak serta merta melepaskan peran dari panca indera. Untuk lebih memahami lagi, ia gali terus informasi tersebut dengan, lagi-lagi, panca inderanya. Beberapa menemukan jawabannya, sementara yang lain terus berpikir. Jawaban yang ditemukan pun berbeda. Melanjutkan ilustrasi senior saya, mari berasumsi sebelumnya ia sama sekali belum mengetahui siapa kreator pagi yang senantiasa ia kagumi. Seseorang yang jatuh hati pada suatu lukisan yang ia lihat di satu pameran akan membuatnya bertanya-tanya mengenai pelukisnya. Begitupun dengan senior saya. Karena ia menyukai pagi, suasana pagi, secara tidak sadar akan timbul satu dorongan untuk mencari tahu siapa pencipta keindahan pagi yang ia nikmati. Dia mungkin telah sampai pada satu pengetahuan bahwa ada sesuatu yang lebih besar darinya, dari manusia manapun, yang menyebabkan kejadian indah itu. Akan tetapi, hal itu masih menjadi teka-teki baginya hingga ia mencari tahu dengan membaca, bertanya ke orang-orang, untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak lagi. Informasi tersebut kemudian ia pilih, yang standarnya pastilah bergantung pada subjektivitas pribadinya. Setelah proses pencarian itu, bisa saja akhirnya ia temukan jawabannya atau mungkin ia harus mencari lagi karena tidak puas. Dan jawaban yang ia dapatkan pun bisa berbeda.

Satu hal yang harus digarisbawahi, akal manusia itu terbatas. Dia memang bisa membuktikan keberadaan sesuatu yang material, nyata berwujud, tapi itu karena sesuatu itu mencapai nalarnya. Ada bukti-bukti yang mendukung keberadaan sesuatu tersebut dan itu disetujui oleh nalarnya. Dan, seperti yang telah saya katakan sebelumnya, seringkali hal ini dijadikan alasan bagi mereka yang tidak percaya untuk membuktikan ketidakadaan Tuhan. Karena mereka menggunakan akal, mereka tidak, atau tidak lantas, percaya akan keberadaan-Nya. Akal manusia tidak mampu menjangkau keberadaan-Nya yang secara wujud tidak dapat dilihat, yang secara empiris susah untuk ditelusuri. Tapi justru di situlah titik pentingnya. Kalau manusia bisa menjangkau Dia dengan akal, apa bedanya manusia dengan Dia? Kalau sama saja, tidak ada yang mengagumkan dari-Nya karena apa yang Dia bisa pun pastilah kita bisa. Di sinilah iman memainkan peran penting.

Pengalaman yang manusia dapatkan lewat panca inderanya, yang diproses oleh akal hingga membentuk satu pengetahuan, dapat membantu pengadaan iman yang tak lepas dari pekerjaan Tuhan. Akal manusia hanya bisa membantu manusia untuk mendapati keberadaan Tuhan lewat pengalamannya; apa yang ia lihat, dengar, cium, rasa, dan kecap. Dari pengalaman itulah muncul suatu pengetahuan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari manusia yang membuatnya bisa mengalami hal tersebut. Dan atas pekerjaan TUhan, iman pun muncul, membuat manusia percaya bahwa memang ada sesuatu yang lebih besar yang sanggup mengerjakan setiap aspek dalam kehidupan di bumi ini dan itulah TUhan. Proses pencarian dan penemuan ini bisa berlangsung sebentar atau selama beberapa waktu, tergantung dari setiap individu. Ralat. Tergantung dari setiap kerendahan hati setiap individu.

Saya lupa menekankan aspek ini sebelumnya, bahwa ketika melakukan proses pencarian dan pengenalan ini, manusia harus melakukannya dengan kerendahan hati; mengakui keterbatasannya. Mungkin hal inilah yang menyebabkan beberapa orang akhirnya tidak sampai kepada jawaban yang benar.


Saya tidak tahu apa yang dialami oleh senior saya yang pertama saya singgung. Tapi entah kenapa, saya merasa ia mengeraskan hatinya. Teman-temannya telah mencoba menjelaskan padanya lewat berbagai pendekatan. Dia sendiri telah mendengar fakta-fakta seputar Tuhan dari gereja--dia bilang dia pergi ke gereja untuk mendapatkan jawabannya. Akan tetapi, dia susah untuk menerimanya karena kekerasan hatinya. Ehm, lebih dari itu, mungkin karena kesombongan dirinya atas pengetahuan yang ia miliki. Saya hanya bisa berharap senior saya itu bisa menemukan jawaban yang benar, bukan hanya jawaban yang ia inginkan. Saya sangat berharap ia bisa kembali mengenal dan percaya pada Tuhan.

Beginikah Rasanya Berpikir?

Beberapa waktu lalu, saya pernah bercerita soal senior saya yang memilih untuk menganut atau menjadi agnostic. Sampai dua hari yang lalu, saya masih berpikir bahwa alasan kenapa dia memutuskan memilih aliran tersebut karena keinginannya untuk bebas dari aturan-aturan agama yang mengekang. Well, alasan sebenarnya ternyata tidak seperti itu walaupun ujung-ujungnya ya ke sana juga.

Alasannya tidak jauh berbeda dari para atheis. Hanya saja, jika atheis tidak meyakini keberadaan Tuhan, dia masih merasa MUNGKIN Tuhan itu ada. Ya, mungkin. Tetapi, keberadaan-Nya sampai saat ini masih ia pertanyakan karena tidak ada bukti empiris yang mendukung. Sederhananya, tidak ada data yang menurut nalar-nya-cukup meyakinkan bahwa Tuhan itu benar ada. Apa yang dia alami selama hidup, sampai bagian-bagian terkecil hidupnya, tidak cukup untuk membuatnya percaya bahwa Dia itu ada. Dan karena bukti itu tidak ada, dia tidak menemukan alasan untuk taat pada Tuhan.

Sepertinya saya terkesan sok tahu, tapi, sekedar informasi, saya benar-benar mengetahui hal-hal di atas dari orangnya langsung, via twitter.

Saya setuju dengan pernyataan bahwa setiap manusia harus mengenal siapa Pencipta-Nya. Itu adalah suatu keharusan, karena bagaimana mungkin kita bisa mengatakan kita mengasihi-Nya, padahal kita sendiri tidak tahu siapa Dia. Kalau pepatah bahasa Indonesia bilang, tak kenal maka tak sayang. Itu juga berlaku buat hubungan kita dengan Tuhan, bukan hanya dengan manusia lainnya. Dan agar manusia bisa mengenal-Nya, Tuhan memberikan panca indera, akal, dan juga iman. Bagaimana ketiganya dapat membantu pengenalan manusia akan ciptaan-Nya?

Panca indera yang dimiliki manusia ada lima, yaitu indera penglihatan (mata), indera pendengaran (telinga), indera pengecap (lidah), indera pembau (hidung), dan indera perasa (lidah). Saya sungguh berpikir bahwa kelima indera ini tidak sembarangan saja dirancang atau terjadi secara kebetulan pada tiap manusia. Sungguh suatu kelengkapan karena satu sama lain dari tiap indera itu saling mendukung. Ketika perut kita keroncongan, otomatis aliran informasi tubuh kita akan menyampaikan kepada otak akan hal tersebut sehingga outputnya adalah kita merasa lapar. Ketika kita lapar, kita mencari makan dan dengan indera pendengar, kita mengetahui dari orang di sebelah kita bahwa ada makanan. Kita mengambil makanan tersebut dan tanpa berpikir kita langsung memasukkannya ke mulut karena indera pembau kita, sadar atau tidak sadar, memberitahu kita bahwa makanan tersebut aman untuk dimakan karena belum basi. Sebelumnya, kita merasakan keempukan atau kekerasan dari makanan tersebut sebelum memasukkannya ke mulut kita agar kita mengetahui bagaimana sebaiknya kita memakan makanan tersebut. Setelah kita makan, keluarlah output berupa tanggapan kita akan rasa makanan tersebut;enak atau tidak. Begitulah gambaran sistem kerja panca indera tubuh manusia, walau mungkin terkesan maksa. Dan bagaimana panca indera bisa membantu pengenalan akan TUhan?

Kemudian, ada akal yang dimiliki oleh setiap manusia. Dari akal manusia, timbul pemikiran-pemikiran yang membawa kepada penemuan-penemuan baru, secara material seperti lampu, maupun nonmaterial seperti teori-teori ilmu pengetahuan. Tentu yang saya bicarakan di sini ialah akal sehat; akal yang dimiliki oleh manusia-manusia yang secara pikiran dan mental tidak atau belum terganggu. Akal biasanya merupakan suatu wadah yang dimiliki manusia untuk memasukkan input yang ia dapati dari reaksi panca indera. Ketika input tersebut memiliki satu kesan yang tidak terlupakan, akal akan dengan segera merekamnya dan menjadikannya bahan perenungan. Outputnya ialah seperti yang saya kemukakan sebelumnya. Berlawanan dengan pernyataan saya di satu paragraf sebelumnya, beberapa orang sering menjadikan akal sebagai alasan kenapa mereka tidak mudah untuk menerima satu eksistensi yang memiliki kekuatan besar, yang sangat besar hingga tidak terjangkau akalnya. Kalau sudah begitu, bagaimana akal bisa membantu manusia untuk mengenal Tuhannya?

Yang terakhir ialah iman. Dari antara tiga alat yang saya kemukakan, sepertinya imanlah yang paling layak untuk digunakan dan adanya imanlah yang membuat manusia percaya akan keberadaan Tuhan. Mengutip dari salah satu ayat Alkitab yang saya lupa kitabnya, "Iman adalah bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat", semakin mendukung bahwa memang imanlah yang membuat setiap manusia meyakini adanya Tuhan karena iman itu sendirilah buktinya. Akan tetapi, iman ini tidak serta merta dimiliki oleh manusia. Ada proses yang mengiringinya sehingga iman itu bisa terbentuk. Dan panca indera serta akal memainkan perannya di sana.

Bagi para pembaca yang beragama Kristen, pastinya tidak asing dengan kutipan ini--yang lagi-lagi saya lupa dari kitab apa--"Iman timbul dari pendengaran". Meskipun hanya satu panca indera saja yang dinyatakan di situ, akan tetapi saya sadar jelas bahwa bukan hanya telinga, keempat indera manusia lainnya pun merupakan sarana untuk pembentukan iman. Bagaimana manusia bisa mendapatkan informasi? Dengan melihat, mendengar, mengecap, mencium, dan merasa. Manusia mengetahui tentang Tuhan dengan membaca (penglihatan) dan mendengar (pendengaran) dari buku-buku serta manusia-manusia lain yang telah terlebih dahulu mendapatkan keyakinan tersebut. Okay, keduanya terdengar relevan. Lalu bagaimana dengan tiga indera lainnya? Ketiga indera lainnya memiliki kasus tersendiri karena ketiganya membantu manusia secara tidak langsung menyadari akan keberadaan-Nya lewat ciptaan-Nya, walaupun hal ini juga berlaku untuk dua indera sebelumnya. Suatu ilustrasi yang saya dapatkan dari salah satu senior saya di persekutuan kampus mungkin bisa membantu pemahaman Anda : Setelah senior saya bangun pagi, salah satu hal yang ia lakukan selain saat teduh ialah keluar kamar, mencoba mendengar kicauan burung, memandang langit pagi yang masih terlihat pucat, menghirup udara kala itu sambil meregangkan anggota tubuhnya, dan meneriakkan rasa syukurnya kepada Tuhan. Bagaimana rasanya udara tersebut menghampiri setiap permukaan tubuhnya dan aromanya hinggap di ujung hidungnya, suara burung yang sampai saat itu boleh ia dengar, dan terutama keberadaan ia sendiri pada hari itu sungguh jelas menyatakan keberadaan-Nya di dunia ini. Keindahan bumi yang boleh setiap manusia alami dengan seluruh panca inderanya tidaklah mungkin hanya merupakan suatu proses alam yang terjadi dengan sendirinya dan atau kebetulan tanpa adanya kekuatan yang lebih besar yang menggerakkannya. Contoh lain, yang merupakan secara khusus selalu membuat saya takjub, ialah keberagaman manusia di bumi ini. Saya seringkali mengagumi keindahan suara dari DBSK dan Shinee--maaf kalau ilustrasinya sedikit mengganggu. Keindahan suara masing-masing personil tersebut sangat khas dan tidak dimiliki seorang daripada yang lain. Terkesan berlebihan bagi beberapa orang, tapi hal itu benar-benar meyakinkan saya bahwa manusia diciptakan oleh sesuatu yang begitu cerdas dan kreatif dan bukan hasil evolusi dari sejenis binatang.

Apa yang didapati oleh panca indera merupakan suatu input bagi akal. Keberadaan akal membuat manusia memikirkan, menelaah, memahami informasi yang baru saja dia dapatkan. Dalam proses ini pun, manusia tidak serta merta melepaskan peran dari panca indera. Untuk lebih memahami lagi, ia gali terus informasi tersebut dengan, lagi-lagi, panca inderanya. Beberapa menemukan jawabannya, sementara yang lain terus berpikir. Jawaban yang ditemukan pun berbeda. Melanjutkan ilustrasi senior saya, mari berasumsi sebelumnya ia sama sekali belum mengetahui siapa kreator pagi yang senantiasa ia kagumi. Seseorang yang jatuh hati pada suatu lukisan yang ia lihat di satu pameran akan membuatnya bertanya-tanya mengenai pelukisnya. Begitupun dengan senior saya. Karena ia menyukai pagi, suasana pagi, secara tidak sadar akan timbul satu dorongan untuk mencari tahu siapa pencipta keindahan pagi yang ia nikmati. Dia mungkin telah sampai pada satu pengetahuan bahwa ada sesuatu yang lebih besar darinya, dari manusia manapun, yang menyebabkan kejadian indah itu. Akan tetapi, hal itu masih menjadi teka-teki baginya hingga ia mencari tahu dengan membaca, bertanya ke orang-orang, untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak lagi. Informasi tersebut kemudian ia pilih, yang standarnya pastilah bergantung pada subjektivitas pribadinya. Setelah proses pencarian itu, bisa saja akhirnya ia temukan jawabannya atau mungkin ia harus mencari lagi karena tidak puas. Dan jawaban yang ia dapatkan pun bisa berbeda.

Satu hal yang harus digarisbawahi, akal manusia itu terbatas. Dia memang bisa membuktikan keberadaan sesuatu yang material, nyata berwujud, tapi itu karena sesuatu itu mencapai nalarnya. Ada bukti-bukti yang mendukung keberadaan sesuatu tersebut dan itu disetujui oleh nalarnya. Dan, seperti yang telah saya katakan sebelumnya, seringkali hal ini dijadikan alasan bagi mereka yang tidak percaya untuk membuktikan ketidakadaan Tuhan. Karena mereka menggunakan akal, mereka tidak, atau tidak lantas, percaya akan keberadaan-Nya. Akal manusia tidak mampu menjangkau keberadaan-Nya yang secara wujud tidak dapat dilihat, yang secara empiris susah untuk ditelusuri. Tapi justru di situlah titik pentingnya. Kalau manusia bisa menjangkau Dia dengan akal, apa bedanya manusia dengan Dia? Kalau sama saja, tidak ada yang mengagumkan dari-Nya karena apa yang Dia bisa pun pastilah kita bisa. Di sinilah iman memainkan peran penting.

Pengalaman yang manusia dapatkan lewat panca inderanya, yang diproses oleh akal hingga membentuk satu pengetahuan, dapat membantu pengadaan iman yang tak lepas dari pekerjaan Tuhan. Akal manusia hanya bisa membantu manusia untuk mendapati keberadaan Tuhan lewat pengalamannya; apa yang ia lihat, dengar, cium, rasa, dan kecap. Dari pengalaman itulah muncul suatu pengetahuan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari manusia yang membuatnya bisa mengalami hal tersebut. Dan atas pekerjaan TUhan, iman pun muncul, membuat manusia percaya bahwa memang ada sesuatu yang lebih besar yang sanggup mengerjakan setiap aspek dalam kehidupan di bumi ini dan itulah TUhan. Proses pencarian dan penemuan ini bisa berlangsung sebentar atau selama beberapa waktu, tergantung dari setiap individu. Ralat. Tergantung dari setiap kerendahan hati setiap individu.

Saya lupa menekankan aspek ini sebelumnya, bahwa ketika melakukan proses pencarian ini, manusia harus melakukannya dengan kerendahan hati; mengakui keterbatasannya. Mungkin hal inilah yang menyebabkan beberapa orang akhirnya tidak sampai kepada jawaban yang benar.


Saya tidak tahu apa yang dialami oleh senior saya yang pertama saya singgung. Tapi entah kenapa, saya merasa ia mengeraskan hatinya. Teman-temannya telah mencoba menjelaskan padanya lewat berbagai pendekatan. Dia sendiri telah mendengar fakta-fakta seputar Tuhan dari gereja--dia bilang dia pergi ke gereja untuk mendapatkan jawabannya. Akan tetapi, dia susah untuk menerimanya karena kekerasan hatinya. Ehm, lebih dari itu, mungkin karena kesombongan dirinya atas pengetahuan yang ia miliki. Saya hanya bisa berharap senior saya itu bisa menemukan jawaban yang benar, bukan hanya jawaban yang ia inginkan. Saya sangat berharap ia bisa kembali mengenal dan percaya pada Kristus.

4/06/2011

Sakit yang mengajarkan~~

Hari ini saya merasa sangat 'dipukul' oleh Tuhan.
Pertama kalinya dalam sejarah akademis saya saya mendapatkan nilai 25 untuk mata kuliah yang tidak perlu saya sebutkan namanya. Bukan karena dosennya--dosennya sangat baik malah, bukan karena sial. Tapi memang karena salah saya sendiri. Di kelas, saya tidak pernah serius mengamati penjelasan beliau. Ketika asistensi, saya beberapa kali tidak masuk. Saya baru rajin datang asistensi waktu mau deket UTS dan saya langsung merasa pintar--kesalahan terbesar saya. Waktu belajar untuk ujian tersebut pun, saya tidak serius. Dan beginilah hasilnya...
Jujur, ketika ujian berlangsung, saya merasa yakin dengan jawaban saya. Saya merasa... yaa minimal dapat 75 lah. Eh, ternyata sehabis saya memberikan kertas jawaban saya ke pengawas ujian dan bersama teman-teman membahas kembali soal-soal ujian tersebut, SATUPUN dari jawaban saya tidak ada yang benar! Bahkan teori yang saya gunakan pun salah. Untuk nomor dengan tingkat kesulitannya paling rendah pun saya tidak bisa mengerjakannya dengan benar. GREAT, isn't it?
Inilah yang saya dapatkan. Saya sedih, kalau boleh jujur. Tapi inilah konsekuensi. Dan saya percaya Tuhan 'memukul' saya karena Dia ingin saya berubah menjadi lebih baik. Sekalipun demikian, Dia tidak membuat saya malu. Pertama, dosen saya itu mengumumkan nilai masing-masing muridnya secara individual. Dia panggil satu per satu untuk mereka melihat sendiri nilainya. Kedua, lewat dosen saya, Tuhan ngasih saya kesempatan untuk memperbaiki nilai saya dengan mengerjakan satu soal yang kesalahan saya benar-benar fatal dan penambahan poinnya--jika benar-- cukup untuk membuat saya lolos uts. Saya benar-benar sangat bersyukur bisa dapat dosen sebaik itu, dan itu tentu saja karena TUhan. My Lord is really great!
Meskipun 'dipukul', tapi Tuhan langsung memberikan 'obat' yang menyembuhkan sehingga tidak ada 'luka' yang tinggal dalam diri saya. Dan Dia 'pukul' saya karena Dia menginginkan perubahan yang lebih baik terjadi pada dan untuk diri saya.
Well, He is my Father. Whose father on earth does want to see His child hurt? =)

"Thank you Father for being so nice to your bad daughter... I promise I will keep learning and trying to improve in every aspect of my life."